Wuring adalah sebuah pemukiman di Kabupaten Sikka yang identik dengan perkampungan nelayan. Kampung ini terletak di Kelurahan Wolomarang , kurang lebih 2 Km dari kota Maumere ke arah barat.
Kapan perkampungan 0rang Bajau itu dimulai? Profesor James J. Fox yang meneliti tentang penyebaran Orang Bajau (Bajo) dan Joakhim Metzener yang menulis diserati tentang pertanian dan penduduk Sikka, dalam kegiatan tentang latar belakang penduduk Sikka, misalnya, tidak menjelaskan tentang kampung nelayan itu. Beliau hanya menyebut tentang kampung Bebeng yang letaknya bersebelahan dengan kampung Wuring kini dan juga kampung Geliting yang berada di bagian timur 8 Km jaraknya dari kota Maumere.
Bebeng disebut dalam kleteng latar (syair) adat Sikka, Sebagai tempat keberangkatan Lesu ke Malaka pada awal abad ke-17. Bebeng diduga pelabuhan yang paling tua di Pantai Utara Kabupaten Sikka.
Dalam suatu Tulisan yang lain tentang nelayan-nelayan Tradisonal Indonesia dan perjanjian perbatasan dengan Australia dan Fox Sevaly Sen menyebut sepintas tentang jaringan komunikasi Muslim Bajo penangkap ikan di Nusa Tenggara Timur, Yaitu Papela (Rote), Oelaba (Rote), Sulamu (Kupang), Binongko (Alor), Wuring (Pantai Utara Flores Tengah). Tetapi Informasi ini tidak menunjuk pada asal mula komunitas Bajo di Wuring.
Dari situ kita hanya mengetahui bahwa sebelum kedatangan pedagang Eropa, Bebeng dan Geliting sudah menjadi salah satu pelabuhan di Pantai Utara Flores yang disinggahi kapal atau perahu-perahu. Dikatakan bahwa Pelabuhan Geliting dan Ambugaga di Ende adalah Tempat Tinggal orang Bugis informasi tentang orang Bugis yang mendiami pantai Geliting pada awal abad ke-19 kita dapatkan juga dari Wichmann (1891) dan Kleian (1891) yang malah merujuk Maumere sebagai “Badjo” sebagaimana dikutib oleh Fox.
Rupanya kampung orang Bajau (Bajo) di Wuring itu bermula agak kemudian dengan kampong yang baru di sebutkan tadi. Sebelum 1940- an, daerah dimana kampung Wuring sekarang ini berada merupakan daerah pantai yang penuh dengan hutan bakau, tetapi sudah ada yang menetap di situ walaupun hanya beberapa rumah. Namun daerah dimana kampong itu terletak adalah Wolomarang, namun pada tahun 1940-an, sering dengan kedatangan gelombang pertama orang Bajao dari Pulau Permaan maka perlahan-lahan pohon-pohon bakau mulai ditebang dan orang-orang mendirikan rumah-rumah di tempat itu.
Perubahan yang lebih besar terjadi pada tahun 1960-an ketika ada gelombang ke dua orang Bajo yang agak banyak menetap di tempat itu. Informasi di Wuring menghubungkan kedatangan orang Bajo gelombang kedua dari Sulawesi ini dengan kekacauan politik dan keamanaan disana karena perlawanaan dari Kahar Muzakkar terhadap Jakarta pada masa itu .
Pada intinya kelompok masyarakat ini adalah masyarakat nomadik di laut. Ungkapan yang merefleksikan identitas mereka adalah Same Biasa Melao yang berarti Orang Bajo adalah Pelaut.
Orang Sikka mengungkapkan identitas mereka dalam puisi adat berikut ini : Tidung Bajo Lau, Lepo Lau tena Wutung yang artinya Tidung Bajo di Laut, kediamnya diperahu.
Dalam banyak tulisan, mereka dikenal dengan nama Gipsy Laut. Mereka berpindah dari pantai yang satu ke pantai yang lain dan berumah diatas laut. Dengan kata lain, ini adalah identitas atau jati diri mereka.
Kutipan langsung dari seorang informan berikut ini merefleksikan poin yang baru saja disampaikan ini. “Orang Bajo itu adalah orang yang hidup diatas perahu atau motor laut. Merekapun lahir di atas perahu, besar di atas perahu, dan semua kegiatan hidupnya dilaksanakan diatas perahu namun, karena merasa aman dan diterima oleh warga setempat maka mereka lalu memilih untuk menetap. Selain itu, kemajuan masyarakat dan kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan mendorong kelompok masyarakat ini untuk menetap.
Arti dan asal-usul nama kampung itu, Wuring, sendiri setidaknya mempunyai tiga versi penjelasan.
Pertama , ia diasalkan pada Buring, seorang Bajo yang pertama menetap di permukiman tersebut.
nama ini berasal dari kata Bureh. Konon dulu ketika sabung ayam masih marak dan ramai, ada ayam dari kampung tersebut dengan nama Bureh (bintik-bintik). Ia selalu memenangi pertarungan. Maka orang pun menyapa kampung tersebut dengan nama Bureh. Perlahan-lahan Bureh disebut Wureh. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa menjadi wuring dan dipakai hinga kini.
Ketiga Wuring itu diasalkan dari kata bahas Sikka yang berarti bunyi yang keluar dari kerang laut yang ditiup untuk memanggil orang atau memberi tanda akan nada sesuatu yang penting
Kini, perkampungan Orang Bajau di Wuring terbagi atas tiga wilayah utama yaitu Wuring Leko, Wuring Tengah dan Wuring Laut. Wuring Leko terletak pada pesisir pantai yang mengikuti lingkungan Teluk Wuring.
Kampung Wuring Tengah merupakan daerah sentral atau tengah Wuring. Sedangkan Wuring laut Sering juga disebut Wuring Toroh, yang dalam bahasa bajau berarti ujung, letaknya adalah dibagian ujung kampung Wuring.
Kebanyakan rumah-rumah di Wuring Tengah dan Wuring Laut adalah rumah panggung karena didirikan di atas air laut. Data dikantor Kelurahan Wolomarang memperlihatkan pada tahun 2006, Kampung Wuring dihuni oleh 2.214 ribu jiwa penduduk.
Sebagian besar dari warga matapencaharian sebagai nelayan. Dan sebagian besar penduduk Wuring adalah orang-orang (keturunan) Bajo, komposisi yang demikian ini menjadikan Wuring sebagai kampung orang Bajo.
Dalam keseharian , mereka berbicara atau berkomunikasi dengan memakai bahasa Bajo, meskipun mereka juga belajar dan mengetahui Bahasa Sikka dan Bahasa Indonesia.
Satu dari generasi pertama orang Bajo yang menetap di Wuring Tengah sekarang , yaitu Baco Kader, mengisahkan bahwa ketika ia datang tahun 1950-an bersama orang tuanya dari Pulau Parumaan, sebuah pulau diperairan Teluk Maumere, sudah ada orang yang menghuni Wuring Tengah, Bagian Wuring Leko apalagi Wuring Laut masi digenangi air laut. Daerah tersebut dipenuhi oleh hutan bakau. Selanjutnya orang tuanya membuat rumah panggung meniru cara orang Bajo mendirikan rumah diatas laut.
Sampai dengan awal tahun 1960-an, belum ada banyak perubahan di Wuring Leko dan Wuring Laut. Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1960-an seiring dengan kedatangan gelombang kedua orang Bajo. Merekapun membangun lagi perumahan panggung di wuring tengah. Hutan bakau ditebang dan perlahan-lahan tidak ada lagi hutan bakau.
Pada era 1980-an sudah terlihat perkembangan di atas laut yang cukup rapi. Ini merupakan hasil himbauan dan dorongan pemerintah setempat agar warga menata perkembangan di atas secara lebih apik. Namun, gempa dan tsunami pada Sabtu, 12 Desember 1992, menghancurkan perumahan di tas laut tersebut.
Pembangunan kembali sesuda gempa ternyata tidak menghadirkan kembali perkampungan lama yang cukup teratur. Namun demikian perkampungan semakin diperpanjang ke tengah laut oleh kehadiran rumah-rumah panggung baru. Karena letaknya yang berada pada ujung kampung maka wilayah tersebut dinamakan Wuring Torah atau Wuring Ujung atau Wuring Laut kini ada jalan darat hasil penimbunan swadaya masyarakat ynag memudahkan transpotasi darat yang mencapai perkembangan wuring Tengah dan Wuring Laut.
Jalur transpotasi yang kini menjadi jalur utama di perkampungan Wuring sebagaian besar dulu masi merupakan laut dangkal, yang mongering saat airlaut surut. Masyarakat setempat lalu menimbunnya dan jadilah jalur utama yang bisa dilalui oleh kendaraan. Hasil penimbunan ini juga menghasilkan sebuah dermaga bongkar muat yang terletak di Wuring Tengah. Untuk pembangunan Dermaga tersebut, setiap keluarga diwajibkan menyumbangkan 2 kubik batu.
Jalur utama dan dermaga ini menjadi tempat pusat bisnis dan urusan perdagangan. Menjadi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang merupakan pusat jual beli hasil tangkapan ikan. Dermaga juga menjadi tempat bongkar muat dari kapal barang yang datang entah dari Sulawesi, Makassar maupun Jawa. Sedangkan pada jalur-jalur utama perkembangan Wuring, orang membuka berbagai macam usaha dagang, mulai berjualan barang, rental, tambal ban sampai warung makan.
Jalur utama yang membelah Wuring Tengah dan Wuring Laut menjadi Satu-satunya daerah kering. Pada jalur sebalah barat di Wuring Laut, tapi di ujung turap jalur utama , berjejerlah perumahan di atas laut. Sedangkan Bagian Timur jalur utama Wuring Tengah, masih terdapat satu rangkain rumah yang berdiri atas tanah hasil penimbunan Perumahan panggung atau perumahan diatas laut dapat di temui di deretan kedua dari jejeran perumahan tersebut. Dengan Menyusuri Lorong-lorong kecil diantara jejeran rumah, kita dapat mencapai perumahan panggung di atas laut yang berada di deretan kedua tersebut. Tempat ini masih digenangi air lautan, terutama bila terjadi pasang naik.
Orang Wuring umumnya dapat melaut baik laki-laki maupun perempuan . Warga yang tak dapat melaut biasanya mengolah dan atau menjual hasil tangkapan dari laut. Yang mengingatat secara sosio-kultural adalah pekerjaan mereka sebagai nelayan, menggunakan bahasa yang sama dan menganut agama yang sama yaitu Agama Islam.
Rumah-Rumah Orang Wuring dibangun berdempetan. Hal ini sangat terlihat di Wuring Tengah. Jarak antara satu rumah panggung dengan rumah panggung lainya kurang lebih 1,5 Meter dengan Tinggi rata-rata dari tanah sekitar 3 sampai 4 meter. Semakin ke tengah laut, ketingian rumah makin terasa karena dataran yang mulai melandai. Sedangkan pada wuring laut, perumahan masi cukup jarang dan masih terdapat ruang-ruang kosong untuk dibangun rumah panggung yang baru.
Untuk mencapai rumah-rumah tersebut, masyarakat setempat membangun “Jembatan” penghubung yang dibuat dari balok ataupun dari batang bambu. Tentu saja, makin ke tengah laut, jempatan tersebut makin terasa tinggi karena dasar laut yang mulai melandai. Jalur jembatan ini sangat bermanfaat terutama karena orang tdak perlu lagi membangun tangga untuk mencapai rumah mereka. Selain itu, jempatan kayu atau balok tersebut akan sangat memudahkan arus lalulintas mereka ketika terjadi pasang naik.
Lebih banyak perumahan diatas laut yang dibangun disebelah timur jalur utama, kususnya di Wuring Laut. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi lebih terbuka ke timur yaitu adanyah dermaga dan akses laut menuju Sadang Bui, Pelabuhan Utama di Maumere. Selain itu, daerah Timur cukup dalam sehingga bisa menjadi tempat labuh dari sampan atau perahu mereka. Karenanya, Wilaya Timur Wuring Laut kelihatan amat padat, baik dari segi perumahan, juga dari segi penduduk.
Para nomad bahari ini dapat membangun rumah sampai pada kedalaman laut 5 meter. Guna membangun Rumah-rumah tersebut tiang-tiang penopang ditanam ke dasar laut dengan mengoyang-goyangkan kayu tersebut hingga kedalamannya mencapai 1 meter. Air laut yang masuk ke dalam lobang pancangan tiang-tiang memudahkan pembancangan tiang-tiang tersebut. Proses ini lebih mudah dikerjakaan pada saat ketinggian airlaut sekitar 75 cm. jumlah tiang-tiang penopang rumah bisa mencapai 16 batang untuk ukuran rumah yang besar. Untuk rumah rumah yang sederhana biasanya diperlukan 9 tiang penopang.
Setelah semua tiang di pancangkan, maka akan di bentangkan balok-balok penghubung antara tiang.selanjutnya bentangan kayu tersebut di paku atau dipasang baut pada tiang penopang utama. Pemasangan tersebut juga memperhitungkan pasang naik dan gelombang-gelombang kecil. Umumnya jarak terakir badan rumah dari pasang tertinggi adalah satu 1 samapi 1,5 meter. Jika telah selesai terpasang, maka pemotongan kayu-kayu penopang yang melebihi ukuran yang di laksanakan. Selanjutnya akan dibangun badan rumah dan atap. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara bergotong royong. Namun untuk rumah panggung yang lebih bervariasi biasanya dibutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian kusus.
Jika ada tiang rumah yang lapuk maka akan diusahakan untuk menggantikannya. Caranya adalah dengan menempelkan atau mengandengkan tiang utama dengan tiang penganti. Tiang utama tidak akan segera di potong tetapi dibiarkan sampai benar benar lapuk baru di potong. Umumnya usia tiang utama dari kayu bulat Ledung adalah 5 tahun, sedangkan kayu besi bisa bertahan selama 30 tahun. Kayu besi biasanya didatangkan dari Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara. Sejumlah waraga berasal dari pulau tersebut dan mereka sudah membangun jaringan dagang.
Sama seperti sebuah rumah didarat, bagian dalam dari rumah orang wuring pun demikian. Ada kamar tidur, dapur dan ruang tamu. Ruang terbuka ukuranya lebih luas dari pada kamar-kamar. Hal ini untuk menghindari rasa panas. Ruangan-ruangan terbuka yang umumnya menjadi ruang tamu tidak menghalangi keluarmasuknya udara yang mana membuat kesejukan tetap terasa sekalipun rumah-rumah tersebut beradah diatas laut. Pembagian kamar-kamar ini adalah hasil suatu perkembangan baru. Pada masa lalu tdak ada kamar. Semua anggota keluarga tidur ataupun melakukan akatifitas di ruang terbuka tersebut. Untuk keluarga yang suda menika, dipasang kain gorden saja. Yang masi bujang, tidur saja dilatai,tdak ada kamar-kamar kusus untuk mereka.
Perubahan lain terjadi setelah gempa 1992. Umumnya setelah gempa, ukuran dari rumah pangung mulai berubah – ubah dan berfariasi dari satu rumah ke rumah lain.rumah pangung bisa menjadi sangat besar, dua atau tiga kali lebih besar dari ukuran rumah dulu yaitu 2 petak, 4 x 6 meter. Asa juga rumah-rumah pangung tertentu yang segaja dibangun dengan ketingian tertentu sehingga pada bangian bawah rumah tersebut dapat dibangun lagi satu bentangan pangung untuk tempat rekreasi atau tempat bermain atau juga untuk menerima tetamu. Rumah-rumah seperti ini umumnya berada di daerah tidak lagi di genangi air laut. (lorensnale/sumber : christologus dhogo, s.fil/puslitbang ledalero/pesona sikka dinas pariwisata kabupaten sikka
Wuring adalah sebuah pemukiman di Kabupaten Sikka yang identik dengan perkampungan nelayan. Kampung ini terletak di Kelurahan Wolomarang , kurang lebih 2 Km dari kota Maumere ke arah barat.
Kapan perkampungan 0rang Bajau itu dimulai? Profesor James J. Fox yang meneliti tentang penyebaran Orang Bajau (Bajo) dan Joakhim Metzener yang menulis diserati tentang pertanian dan penduduk Sikka, dalam kegiatan tentang latar belakang penduduk Sikka, misalnya, tidak menjelaskan tentang kampung nelayan itu. Beliau hanya menyebut tentang kampung Bebeng yang letaknya bersebelahan dengan kampung Wuring kini dan juga kampung Geliting yang berada di bagian timur 8 Km jaraknya dari kota Maumere.
Bebeng disebut dalam kleteng latar (syair) adat Sikka, Sebagai tempat keberangkatan Lesu ke Malaka pada awal abad ke-17. Bebeng diduga pelabuhan yang paling tua di Pantai Utara Kabupaten Sikka.
Dalam suatu Tulisan yang lain tentang nelayan-nelayan Tradisonal Indonesia dan perjanjian perbatasan dengan Australia dan Fox Sevaly Sen menyebut sepintas tentang jaringan komunikasi Muslim Bajo penangkap ikan di Nusa Tenggara Timur, Yaitu Papela (Rote), Oelaba (Rote), Sulamu (Kupang), Binongko (Alor), Wuring (Pantai Utara Flores Tengah). Tetapi Informasi ini tidak menunjuk pada asal mula komunitas Bajo di Wuring.
Dari situ kita hanya mengetahui bahwa sebelum kedatangan pedagang Eropa, Bebeng dan Geliting sudah menjadi salah satu pelabuhan di Pantai Utara Flores yang disinggahi kapal atau perahu-perahu. Dikatakan bahwa Pelabuhan Geliting dan Ambugaga di Ende adalah Tempat Tinggal orang Bugis informasi tentang orang Bugis yang mendiami pantai Geliting pada awal abad ke-19 kita dapatkan juga dari Wichmann (1891) dan Kleian (1891) yang malah merujuk Maumere sebagai “Badjo” sebagaimana dikutib oleh Fox.
Rupanya kampung orang Bajau (Bajo) di Wuring itu bermula agak kemudian dengan kampong yang baru di sebutkan tadi. Sebelum 1940- an, daerah dimana kampung Wuring sekarang ini berada merupakan daerah pantai yang penuh dengan hutan bakau, tetapi sudah ada yang menetap di situ walaupun hanya beberapa rumah. Namun daerah dimana kampong itu terletak adalah Wolomarang, namun pada tahun 1940-an, sering dengan kedatangan gelombang pertama orang Bajao dari Pulau Permaan maka perlahan-lahan pohon-pohon bakau mulai ditebang dan orang-orang mendirikan rumah-rumah di tempat itu.
Perubahan yang lebih besar terjadi pada tahun 1960-an ketika ada gelombang ke dua orang Bajo yang agak banyak menetap di tempat itu. Informasi di Wuring menghubungkan kedatangan orang Bajo gelombang kedua dari Sulawesi ini dengan kekacauan politik dan keamanaan disana karena perlawanaan dari Kahar Muzakkar terhadap Jakarta pada masa itu .
Pada intinya kelompok masyarakat ini adalah masyarakat nomadik di laut. Ungkapan yang merefleksikan identitas mereka adalah Same Biasa Melao yang berarti Orang Bajo adalah Pelaut.
Orang Sikka mengungkapkan identitas mereka dalam puisi adat berikut ini : Tidung Bajo Lau, Lepo Lau tena Wutung yang artinya Tidung Bajo di Laut, kediamnya diperahu.
Dalam banyak tulisan, mereka dikenal dengan nama Gipsy Laut. Mereka berpindah dari pantai yang satu ke pantai yang lain dan berumah diatas laut. Dengan kata lain, ini adalah identitas atau jati diri mereka.
Kutipan langsung dari seorang informan berikut ini merefleksikan poin yang baru saja disampaikan ini. “Orang Bajo itu adalah orang yang hidup diatas perahu atau motor laut. Merekapun lahir di atas perahu, besar di atas perahu, dan semua kegiatan hidupnya dilaksanakan diatas perahu namun, karena merasa aman dan diterima oleh warga setempat maka mereka lalu memilih untuk menetap. Selain itu, kemajuan masyarakat dan kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan mendorong kelompok masyarakat ini untuk menetap.
Arti dan asal-usul nama kampung itu, Wuring, sendiri setidaknya mempunyai tiga versi penjelasan.
Pertama , ia diasalkan pada Buring, seorang Bajo yang pertama menetap di permukiman tersebut.
nama ini berasal dari kata Bureh. Konon dulu ketika sabung ayam masih marak dan ramai, ada ayam dari kampung tersebut dengan nama Bureh (bintik-bintik). Ia selalu memenangi pertarungan. Maka orang pun menyapa kampung tersebut dengan nama Bureh. Perlahan-lahan Bureh disebut Wureh. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa menjadi wuring dan dipakai hinga kini.
Ketiga Wuring itu diasalkan dari kata bahas Sikka yang berarti bunyi yang keluar dari kerang laut yang ditiup untuk memanggil orang atau memberi tanda akan nada sesuatu yang penting
Kini, perkampungan Orang Bajau di Wuring terbagi atas tiga wilayah utama yaitu Wuring Leko, Wuring Tengah dan Wuring Laut. Wuring Leko terletak pada pesisir pantai yang mengikuti lingkungan Teluk Wuring.
Kampung Wuring Tengah merupakan daerah sentral atau tengah Wuring. Sedangkan Wuring laut Sering juga disebut Wuring Toroh, yang dalam bahasa bajau berarti ujung, letaknya adalah dibagian ujung kampung Wuring.
Kebanyakan rumah-rumah di Wuring Tengah dan Wuring Laut adalah rumah panggung karena didirikan di atas air laut. Data dikantor Kelurahan Wolomarang memperlihatkan pada tahun 2006, Kampung Wuring dihuni oleh 2.214 ribu jiwa penduduk.
Sebagian besar dari warga matapencaharian sebagai nelayan. Dan sebagian besar penduduk Wuring adalah orang-orang (keturunan) Bajo, komposisi yang demikian ini menjadikan Wuring sebagai kampung orang Bajo.
Dalam keseharian , mereka berbicara atau berkomunikasi dengan memakai bahasa Bajo, meskipun mereka juga belajar dan mengetahui Bahasa Sikka dan Bahasa Indonesia.
Satu dari generasi pertama orang Bajo yang menetap di Wuring Tengah sekarang , yaitu Baco Kader, mengisahkan bahwa ketika ia datang tahun 1950-an bersama orang tuanya dari Pulau Parumaan, sebuah pulau diperairan Teluk Maumere, sudah ada orang yang menghuni Wuring Tengah, Bagian Wuring Leko apalagi Wuring Laut masi digenangi air laut. Daerah tersebut dipenuhi oleh hutan bakau. Selanjutnya orang tuanya membuat rumah panggung meniru cara orang Bajo mendirikan rumah diatas laut.
Sampai dengan awal tahun 1960-an, belum ada banyak perubahan di Wuring Leko dan Wuring Laut. Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1960-an seiring dengan kedatangan gelombang kedua orang Bajo. Merekapun membangun lagi perumahan panggung di wuring tengah. Hutan bakau ditebang dan perlahan-lahan tidak ada lagi hutan bakau.
Pada era 1980-an sudah terlihat perkembangan di atas laut yang cukup rapi. Ini merupakan hasil himbauan dan dorongan pemerintah setempat agar warga menata perkembangan di atas secara lebih apik. Namun, gempa dan tsunami pada Sabtu, 12 Desember 1992, menghancurkan perumahan di tas laut tersebut.
Pembangunan kembali sesuda gempa ternyata tidak menghadirkan kembali perkampungan lama yang cukup teratur. Namun demikian perkampungan semakin diperpanjang ke tengah laut oleh kehadiran rumah-rumah panggung baru. Karena letaknya yang berada pada ujung kampung maka wilayah tersebut dinamakan Wuring Torah atau Wuring Ujung atau Wuring Laut kini ada jalan darat hasil penimbunan swadaya masyarakat ynag memudahkan transpotasi darat yang mencapai perkembangan wuring Tengah dan Wuring Laut.
Jalur transpotasi yang kini menjadi jalur utama di perkampungan Wuring sebagaian besar dulu masi merupakan laut dangkal, yang mongering saat airlaut surut. Masyarakat setempat lalu menimbunnya dan jadilah jalur utama yang bisa dilalui oleh kendaraan. Hasil penimbunan ini juga menghasilkan sebuah dermaga bongkar muat yang terletak di Wuring Tengah. Untuk pembangunan Dermaga tersebut, setiap keluarga diwajibkan menyumbangkan 2 kubik batu.
Jalur utama dan dermaga ini menjadi tempat pusat bisnis dan urusan perdagangan. Menjadi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang merupakan pusat jual beli hasil tangkapan ikan. Dermaga juga menjadi tempat bongkar muat dari kapal barang yang datang entah dari Sulawesi, Makassar maupun Jawa. Sedangkan pada jalur-jalur utama perkembangan Wuring, orang membuka berbagai macam usaha dagang, mulai berjualan barang, rental, tambal ban sampai warung makan.
Jalur utama yang membelah Wuring Tengah dan Wuring Laut menjadi Satu-satunya daerah kering. Pada jalur sebalah barat di Wuring Laut, tapi di ujung turap jalur utama , berjejerlah perumahan di atas laut. Sedangkan Bagian Timur jalur utama Wuring Tengah, masih terdapat satu rangkain rumah yang berdiri atas tanah hasil penimbunan Perumahan panggung atau perumahan diatas laut dapat di temui di deretan kedua dari jejeran perumahan tersebut. Dengan Menyusuri Lorong-lorong kecil diantara jejeran rumah, kita dapat mencapai perumahan panggung di atas laut yang berada di deretan kedua tersebut. Tempat ini masih digenangi air lautan, terutama bila terjadi pasang naik.
Orang Wuring umumnya dapat melaut baik laki-laki maupun perempuan . Warga yang tak dapat melaut biasanya mengolah dan atau menjual hasil tangkapan dari laut. Yang mengingatat secara sosio-kultural adalah pekerjaan mereka sebagai nelayan, menggunakan bahasa yang sama dan menganut agama yang sama yaitu Agama Islam.
Rumah-Rumah Orang Wuring dibangun berdempetan. Hal ini sangat terlihat di Wuring Tengah. Jarak antara satu rumah panggung dengan rumah panggung lainya kurang lebih 1,5 Meter dengan Tinggi rata-rata dari tanah sekitar 3 sampai 4 meter. Semakin ke tengah laut, ketingian rumah makin terasa karena dataran yang mulai melandai. Sedangkan pada wuring laut, perumahan masi cukup jarang dan masih terdapat ruang-ruang kosong untuk dibangun rumah panggung yang baru.
Untuk mencapai rumah-rumah tersebut, masyarakat setempat membangun “Jembatan” penghubung yang dibuat dari balok ataupun dari batang bambu. Tentu saja, makin ke tengah laut, jempatan tersebut makin terasa tinggi karena dasar laut yang mulai melandai. Jalur jembatan ini sangat bermanfaat terutama karena orang tdak perlu lagi membangun tangga untuk mencapai rumah mereka. Selain itu, jempatan kayu atau balok tersebut akan sangat memudahkan arus lalulintas mereka ketika terjadi pasang naik.
Lebih banyak perumahan diatas laut yang dibangun disebelah timur jalur utama, kususnya di Wuring Laut. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi lebih terbuka ke timur yaitu adanyah dermaga dan akses laut menuju Sadang Bui, Pelabuhan Utama di Maumere. Selain itu, daerah Timur cukup dalam sehingga bisa menjadi tempat labuh dari sampan atau perahu mereka. Karenanya, Wilaya Timur Wuring Laut kelihatan amat padat, baik dari segi perumahan, juga dari segi penduduk.
Para nomad bahari ini dapat membangun rumah sampai pada kedalaman laut 5 meter. Guna membangun Rumah-rumah tersebut tiang-tiang penopang ditanam ke dasar laut dengan mengoyang-goyangkan kayu tersebut hingga kedalamannya mencapai 1 meter. Air laut yang masuk ke dalam lobang pancangan tiang-tiang memudahkan pembancangan tiang-tiang tersebut. Proses ini lebih mudah dikerjakaan pada saat ketinggian airlaut sekitar 75 cm. jumlah tiang-tiang penopang rumah bisa mencapai 16 batang untuk ukuran rumah yang besar. Untuk rumah rumah yang sederhana biasanya diperlukan 9 tiang penopang.
Setelah semua tiang di pancangkan, maka akan di bentangkan balok-balok penghubung antara tiang.selanjutnya bentangan kayu tersebut di paku atau dipasang baut pada tiang penopang utama. Pemasangan tersebut juga memperhitungkan pasang naik dan gelombang-gelombang kecil. Umumnya jarak terakir badan rumah dari pasang tertinggi adalah satu 1 samapi 1,5 meter. Jika telah selesai terpasang, maka pemotongan kayu-kayu penopang yang melebihi ukuran yang di laksanakan. Selanjutnya akan dibangun badan rumah dan atap. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara bergotong royong. Namun untuk rumah panggung yang lebih bervariasi biasanya dibutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian kusus.
Jika ada tiang rumah yang lapuk maka akan diusahakan untuk menggantikannya. Caranya adalah dengan menempelkan atau mengandengkan tiang utama dengan tiang penganti. Tiang utama tidak akan segera di potong tetapi dibiarkan sampai benar benar lapuk baru di potong. Umumnya usia tiang utama dari kayu bulat Ledung adalah 5 tahun, sedangkan kayu besi bisa bertahan selama 30 tahun. Kayu besi biasanya didatangkan dari Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara. Sejumlah waraga berasal dari pulau tersebut dan mereka sudah membangun jaringan dagang.
Sama seperti sebuah rumah didarat, bagian dalam dari rumah orang wuring pun demikian. Ada kamar tidur, dapur dan ruang tamu. Ruang terbuka ukuranya lebih luas dari pada kamar-kamar. Hal ini untuk menghindari rasa panas. Ruangan-ruangan terbuka yang umumnya menjadi ruang tamu tidak menghalangi keluarmasuknya udara yang mana membuat kesejukan tetap terasa sekalipun rumah-rumah tersebut beradah diatas laut. Pembagian kamar-kamar ini adalah hasil suatu perkembangan baru. Pada masa lalu tdak ada kamar. Semua anggota keluarga tidur ataupun melakukan akatifitas di ruang terbuka tersebut. Untuk keluarga yang suda menika, dipasang kain gorden saja. Yang masi bujang, tidur saja dilatai,tdak ada kamar-kamar kusus untuk mereka.
Perubahan lain terjadi setelah gempa 1992. Umumnya setelah gempa, ukuran dari rumah pangung mulai berubah – ubah dan berfariasi dari satu rumah ke rumah lain.rumah pangung bisa menjadi sangat besar, dua atau tiga kali lebih besar dari ukuran rumah dulu yaitu 2 petak, 4 x 6 meter. Asa juga rumah-rumah pangung tertentu yang segaja dibangun dengan ketingian tertentu sehingga pada bangian bawah rumah tersebut dapat dibangun lagi satu bentangan pangung untuk tempat rekreasi atau tempat bermain atau juga untuk menerima tetamu. Rumah-rumah seperti ini umumnya berada di daerah tidak lagi di genangi air laut. (lorensnale/sumber : christologus dhogo, s.fil / puslitbang ledalero/pesona sikka dinas pariwisata kabupaten sikka
slot demo
https://sukoharjo.kemenag.go.id/wp-content/-/gacorx/
https://e-lab.kampusmelayu.ac.id/public/upload/-/
Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor https://pa-barru.go.id/kasus/ https://sman53jkt.sch.id/53/