Artikel Budaya


  • Jong Dobo : Sisi Sejarah, Budaya dan Wisata

                                                                

                                                                         Gerbang masuk Jong Dobo dengan ucapan selamat datang

                                                                                                       “Uhet Dien Dat Hading”

     

    Jong Dobo : Perahu Perunggu Di Dobo

    Jong Dobo, sebuah artefak perunggu dalam bentuk miniatur perahu, yang merupakan warisan sejarah dan budaya dan dianggap  memiliki daya magis dan sakral. Artefak tersebut terletak di Kampung Dobo. Nama lengkap kampung itu adalah Dobo Dora Nata Ulu, yang artinya puncak Dobo kampung pertama. Tinggi puncak bukit itu adalah 360 ha. Pada tahun 1932 oleh Pemerintah Belanda dijadikan Hutan Lindung. Dari segi administrasi pemerintahan, kampung ini adalah bagian dari Desa Ian Tena, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka.

    Di kampung ini tersimpan sebuah artefak, yang diberinama nama dengan nama kampung itu, yaitu Jong Dobo. Jong adalah kata Bahasa Sikka untuk perahu atau kapal. Masyarakat setempat mengenal juga satu nama lain untuk artefak ini yaitu jong gelang, artinya kapal perunggu, karena miniatur perahu tersebut terbuat dari perunggu. Pengukuran yang dilakukan tahun 1982 yang dilakukan oleh Prof. Soejono, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menunjukan ukuran sebagai berikut: panjang 60 cm, tinggi 12 cm dan lebar bagian tengah 8 cm. Detil-detil yang lain adalah awak kapal dalam bentuk patung sebanyak 22 orang.

    Enam orang awak pendayung ada pada masing-masing sisi kapal, empat orang penari ada di atas geladak kapal diantaranya seorang penari perempuan yang sedang duduk, empat orang lainnya adalah tentara yang menjaga perahu tersebut, bersenjatakan busur, anak panah, bertopi jambul ayam jago.Sejak semula hingga kini, Jong Dobo disimpan di Bukit Dobo, di tu’an piren, bukit kecil berhutan yang keramat, pada onggokan batu.

    Tuan pireng de facto adalah juga tempat pemujaan komunitas setempat. Masyarakat meyakininya bahwa ada nitu noang (roh leluhur) yang berdiam di batu-batu besar dan pohon-pohon. Selain artefak perahu mini perunggu, di Kampung tersebut terdapat juga pelataran megalithis, yaitu batu mahe.Mahe atau watu mahe adalah batu berbentuk dolmen dan menhir yang dipasang di tengah kampung, yang menjadi pusat upacara penyembahan leluhur dan penguburan.

     

    Tradisi Lisan dan Syair Adat (Kleteng Latar) Asal Usul Jong Dobo

    Awal mula dan asal dari Jong Dobo menyata dalam syair adat yang dikenal dalam Bahasa Sikka dengan sebutan Kleteng Latar, yaitu prosa liris paralel. Muatan syair adat itu kelihatannya lebih merupakan suatu legenda dari pada mitos, dalam artian bahwa yang menonjol ialah pribadi-pribadi historis. Ini tentu beda dengan pengertian mitos pada umumnya yang mencakup dewa-dewa dan manusia yang secara tipikal ditempatkan dalam seting yang tidak historis. Syair adat atau kleteng latar tentang Jong Dobo menjadi media untuk terus menghidupkan ingatan kolektif dan menguatkan identitas sosio-kultural masyarakat tentang Jong Dobo.

    2 syair adat berikut ini mengungkapkan tentang Jong Dobo :

    Syair adat 1

    Soge ata Numba,

    Sage jong gelang reta

    Jong gelang reta,

    Beli uran nora dara

    Poto watu ia Dobo,

     

    Poa inga ia Dobo

    Inga ia Dobo,

    Jong baleng dadi gelang

     

     

    Orang Soge dan Numba

    Yang mengkeramatkan jong gelang itu

    Jong gelang itu

    Menurunkan hujan dan panas

    (Tatkala) mengangkat jangkar di Dobo

     

    Mereka kesiangan di sana

    Kesiangan di Dobo,

    (karenanya) kapal itu berubah menjadi gelang

     

    Syair Adat 2

    ‘Au moan Woga Pigang,

    Ngen tota ora nian

    Bar tota ora tana

    Tuku wawa wawa mai

     

    Wawa Sina Siam Malaka,

    Maing saing sapeng genang,

    Wawa Biung  Du’a Bima.

     

    Mapa wawa main,

    Saing Soge tana pu’an

    Wuat ene nodin hoit,

    Bako ene bajak papak.

     

    Tuku a saing

    Sada Watu Manuk

    Nian Sika wani aga,

    Nian Nita Karang Jawa

     

    Tuku ripa a,

    Saing Dobo Dora Nata Ulu,

    Tana detun epan,

    Tana desa wohon

     

    Akulah Mo’an Woga Pigan,

    Berkelana mencari tanah,

    Berkeliling menemukan bumi

    Mendayung sampan nun jauh dari seberang,

    Dari Sina Siam Malaka,

    Menyinggahi dalam perjalanan,

    Negeri Biung Du’a Bima.

     

    (kami) berangkat dari sana,

    Menyinggahi Soge tuan tanah,

    Tetapi tidak disuguhi siri pinang,

    Tidak disajikan gulungan tembakau.

     

    Lalu mendayung menuju

    Sadang watu manuk

    Di negeri Sika pemberani

    Ke negeri Nita karang Jawa,

     

    Mendayunglah (kami) ke ketinggian,

    Sampailah ke Dobo Dora Nata Ulu

    Tanahnya datar,

    Kampungnya makmur.

     

    Dua syair adat di atas menarasikan kisah Jong Dobo, sebuah warisan sejarah dan budaya yang syarat dengan daya mistik dan keajaiban.Ada tiga penegasanyang mau disampaikan berdasarkan syair adat tersebut.

    Pertama, masyarakat setempat meyakini adanya daya magis yang ada pada Jong Dobo, yaitu mendatangkan hujan dan angin badai. Hal ini berkaitan dengan adanya Jong Dobo yang bersifat luar biasa dan ajaib, dari kapal yang besar menjadi kecil, yang disebabkan oleh perubahan waktu kosmik malam menjadi siang.

    Kedua, tentang asal mula perahu ini. Syair adat itu memperlihatkan bahwa perahu dan masyarakat yang membawanya barasal dari negeri seberang atau

    tempat lain. Ingatan kolektif masyarakat setempat berdasarkan kisah  yang diturunkan para leluhur menyebutkan bahwa sebelum tiba di Dobo, telah terjadi sebuah expedisi atau perjalanan jauh dan panjang mulai dari asal usul di Negeri Sina Siam (Ceylon) melalui Malaka, melewati persinggahan tempat-tempat lain antara lain Ata Soge(Ende), Bima, Sada Watu Manuk, Sikka, Nita, dan akhirnya tiba di tempat di mana Jong Dobo ada sekarang. Kisah ini juga mau menegaskan bahwa migrasi para pendatang dari negeri seberang jauh (outsider) seperti dari Siam, India, Cina dan Malaka yang memasuki wilayah nusantara termasuk Sikka menjadi kelompok  penghuni yang mendiami wilayah yang didatangi, selanjutnya terbangun interaksi sosial dan akulturasi dengan masyarakat lokal.

     

                                                        

                                                                                          Ahli Waris Jong Dobo

     

    Ketiga, Masyarakat yang muncul dalam kleteng lataratau syair adat ini adalah mereka yang sudah mengenal pertanian. Mereka selalu mencari tanah yang subur dan nyaman untuk kediaman yang lebih baik.

    Tana Pu’an dan Tu’an Piren: Ahli Waris dan Pemeliharaan.

    Pemilik atau ahli waris Jong Dobo adalah leluhur dari masyarakat di Kampung Dobo, secara khusus Lepo tana pu’an Dobo. Dari asal usul katanya, tana artinya tanah, pu’an, artinya mula, asal, pemimpin atau kepala kampung; tuan tanah. Umumnya diyakini bahwa leluhur tana pu’an adalah orang pertama yang membentuk dan mendiami suatu kampung. Tana pu’an juga menjalankan fungsi imamatau pemimpin doa dan persembahan dalam upacara-upacara adat. Perlu digarisbawahi bahwa Jong Dobo itu bukanlah milik pribadi dari salah satu anggota keluarga tana pu’an, tetapi merupakan milik bersama. Orang-orang tertentu dalam keluarga tana pu’an yang dianggap mampu dipercayakan untuk memelihara Jong Bobo.

    Jong Dobo Dan Warisan Budaya Dongson Jong Dobo, sebuah miniatur perahu yang terbuat dari perunggu. Jong Dobo menggambarkan adanya relasi antara budaya setempat dan luar. Etnolog, Theodor Verhoeven, SVD yang banyak melakukan penyelidikan kepurbakalaan di Flores dan juga adalah pendiri Museum Bikon Blewut Seminari Tinggi Filsafat St. Paulus Ledalero mengatakan bahwa perahu ini berasal dari Dongson. Artefak itu memperlihatkan suatu koneksi antara Flores dan Daratan Asia. Jong Dobo adalah salah satu dari sekian artefak perunggu yang ditemukan di Flores. Tahun 1955, Pater Darius Nggawa, SVD menemukan 3 kapak perunggu Dongson di Kampung Guru yang terletak di sekitar 8 km dari Maumere ke arah barat. Selain itu ditemukan juga artefak metal lain di Bajawa, Kabupaten Ngada, sebuah pisau belati yang dianggap sebagai satu dari peralatan metal yang tertua di Indonesia.

    Kebudayaan Dongson yang menjadi asal dari Jong Dobo ini awalnya berkembang di Vietnam Utara dan Cina Selatan pada tahun 500-300 SM. Kebudayaan logam yang dikenal di Indonesia berasal dari Dongson, nama lembah sungai dan kota kuno di Tonkin yang menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Kebudayaan ini telah dibawa masuk ke Indonesia pada tahun 500 SM oleh para migran Deutro-Melayu.

     

                                                           

                                                                                         Jong Dobo Dan Masyarakat Perahu

     

    Jong Dobo, sebuah artefak perunggu berbentuk miniatur perahu tidak hanya mengungkapkan adanya daya magis, mistik dan sakral, tapi secara sosio kultural warisan dalam rupa perahu ini juga menegaskantentang adanya suatu kultur hidup masyarakat sebagai sebuah perahu.Etnolog Bernhard A. G. Vroklage, SVD yang melakukan penelitian lapangan di Nusa Tenggara pada tahun 1930an menerbitkan dua laporan penelitian tentang masyarakat perahu. Dari penelitian itu beliau menyimpulkan bahwa dalam masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, gambaran tentang masyarakat sebagai suatu perahu sudah berkembang sekitar tahun 200 SM.Menurut penelitian tersebut, gambaran masyarakat sebagai perahu ini diyakini dan dihidupi oleh kelompok-kelompok masyarakat melalui simbolik-simbolik perahu seperti ada pada rumah, pelataran megalitis, peti jenazah, dan mitos-mitos. Sebagai contoh rumah adat orang Lio memperlihatkan simbolik perahu dan tubuh ibu, atap rumah disebut layar kapal. Masyarakat perahu menurut Gambaran Profesor Vroklage terungkap juga dalam salah satu jabatan dalam masyarakat Sikka, yaitu Mangung Lajar, dalam bahasa Sikka berarti tiang utama kapal.

    Dari gambaran hasil penelitian tentang masyarakat sebagai sebuah perahu dan adanya artefak Jong Dobo mau mengungkapkan juga bahwa secara sosio kultural perahu melambangkan daya juang manusia yang selalu siap menghadapi badai dan gelombang kehidupan. Bahkan secara spiritualitas ada sebuah lagu gereja dalam Bahasa Sikka yang selalu dinyanyikan mengandung kata perahu. Penggalan syairnya adalah “Atabiang moret ganu tena lalang, oh Maria jaga tena lopa bitak” artinya: Hidup manusia ibarat perahu di tengah samudera, dalam lindungan Maria perahu akan tetap kokoh.

     

    Jong Dobo Sebagai Destinasi Wisata

    Kekhasan ataupun keunikan Jong Dobo merupakan kekuatan daya tarik yang mendatangkan wisatawan untuk berkunjung dan menikmatinya. Unsur wisata budaya secara fisik ini akan dipadukan dengan panorama alam Jong Dobo sehingga mendukung perjalanan wisata untuk tujuan minat khusus(special interest). Unsur wisata budaya lain yang mendukung wisata ke Jong Dobo adalah kesenian dan musik lokal. Atraksi budaya ini akan menyemarakan nuansa wisata Jong Dobo karena selalu menyuguhkan nilai atraktif yang menghibur.

    Dari sisi keilmuan kunjungan ke Jong Dobo adalah bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan atau peneliti melalui kegiatan penelitian arkeologi dan cabang ilmu yang terkait. Penelitian para ilmuwan terdahulu menjadi dasar untuk pengembangan penelitian lanjutan terhadap Jong Dobo, dengan demikian catatan-catatan tentang Jong Dobo tidak hanya sebatas catatan perjalanan wisata tetapi juga adalah sebuah laporan ilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

    Selamat datang di Jong Dobo, Uhet Dien dat Hading.

    (Sumber : Pesona Sikka, Deskripsi 10 Objek Wisata Budaya, Dinas Pariwisata  Kabupaten Sikka 1996).

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     


Statistik Web